Kamis, 25 Februari 2010

CINTA ITU BUTA

Karya Ade Irawati
XII IPA 3

Anak –anak Ipa 1 heboh banget. Bukan karena baru keluar pelajaran berdebat dengan Bahasa Inggris, tetapi karena berita termuktahir yang dibawa Vera, si biang gossip nan centil itu.
“Denger ya, si Biyo itu sekarang katanya baru aja jadian sama Lala”. Cerocos Vera rada keras
“Lo kata siapa Ver?”. Nisa nggak percaya begitu saja. Maklum, Vera itu sering banget buat gossip yang sebenarnya susuah sekali dibuktikan.
“Eh, gua kan satu kosong delapan, pusat segala informasi githu loch”. Jawab Vera membanggakan diri. Dia memang senang sekali disebut sebagai “108” alias pusat segala informasi.
“Pusat informasi yang nggak selamanya nggak bener kale…”. Celetuk Denis dari belakang. Kepala Vera menoleh kebelakang, matanya melotot dan mulutnya monyong. Nggak terima dikatai begitu.
“Temen –temen itu fitnah, BOHONG !!!.. Vera aja dipercaya”. Ucapku menyanggah dengan lantang dikelas.
“Heloww.. CINTARA PUTRI. Jangan mentang –mentang lo sahabatnya, lo serba tahu. Kali aja masalah yang satu ini Biyo nggak cerita sama lo!”. Jawab Vera dengan judes. Mendengar ucapan tadi membuat hatiku sakit, langsung saja aku pergi dari kelas menuju kantin. Tetapi setelah kupikir –pikir memang ada benarnya juga si Vera, sudah beberapa hari ini Biyo tak pernah main bareng aku lagi.
“Eh, emang yang sama Lala itu jadi??”. Tanya Nisa lagi, kali ini wajahnya menampakkan keingintahuan yang besar.
“Jadi, dong. Malah yang Bantu jadiin kan si Mia”.
“Hah? Mia si cewek culun itu?”. Inge nggak percaya
“Betul. Kalo soal ini, yang ngaku Biyo sendiri ke gua. Makanya si Cinta sama Biyo dah nggak pernah gabung lagi kan”.
“Ck.ck.ck. ternyata mereka bisa marahan juga. Padahal kan mereka berdua lengket banget”. Kepala Nisa dan Inge bergeleng –geleng.
“Makanya, waktu gua denger Biyo marah sama Cinta. Gua piker dia lagi sableng deh”.
“Ya kali boy…..”. Denis kembali nyeletuk. Kali ini dia sambil lewat melintas tempat duduk Vera.
“Heh! Senengnya nyeleyuk doing kalo mau, ikutan aja!!”. Sewot Vera.
“So what gitu lho..” Denis mengangkat bahu nggak peduli.
“Lalu Ver gimana kelanjutan si Biyo sama si lala?”.
“Wah, itu tuh rame banget deh. Anak –anak kelas sebelah lagi ramen gomongin ini…”. Gossip pun terus berlanjut antar anak –anak cewek di kelas itu.

♥ ♥ ♥

Suasana kantin begitu sepi, hening, tak seperti biasanya yang sangat padat merayap. Aku duduk dipojok kantin, tempat dimana aku dan sahabatku (Biyo) sering makan bakso. Aku menyempatkan diri menulis diary sambil mendengarkan lagu dari headset di telingaku.
“Pak De, baksonya 2 mangkok yang satu banyak sambelnya, yang satu banyak kecapnya. Nggak pake mecin ya.. Pak De”. Cerocosku seperti biasa.
“Tumben sendirian. Pesennya beneran 2 mangkok?”. Sahut Pak De terheran. Wajar Pak De heran, karena biasanya aku suka makan bareng Biyo. Biyo suka memesan bakso yang sangat pedas menurutku.
“Nggak apa –apa Pak De. Tetep 2 mangkok seperti biasa. Saya lagi laper berat”. Jawabku sambil ketawa kecil. Kulanjutkan kembali menulis diary. Namun, aku tertegun melihat Biyo datang bersama Lala, yang kemudian disusul oleh teman –temannya dari kelas ipa 2 (kelasnya Biyo dan Lala). Sepertinya tempat ini telah di Reserved untuk merayakan hari jadi mereka.
“Ya… Alah. Semoga mereka semua tidak makan disini. Amin. ”. Batinku berdo’a.
“Dek, ini baksonya udah jadi”. Suara Pak De membuatku terkejut.
“Oh, iya. Terima kasih ya Pak De”. Sahutku agak tenang. Tetapi sepertinya do’a ku belum dikabulkan. Biyo dan kawan –kawan serta pacarnya menuju kea rah bakso Pak De. Aku mencoba bersikap biasa –biasa saja.
“Cinta, sendiri aja”. Sapa Lala. Baru saja ku lepas headset sebelah kiriku dan ingin bicara, ia sudah menyambungkan bicara lagi.
“Cinta,cinta.. kecil –kecil kamu makannya banyak juga yah. Nggak nyangka gua”. Lanjut Lala. Aku hanya menjawab dengan senyum kecil yang sebenarnya tidak ikhlas.
“Ma… mau makan bakso ya, disini aja kita makan bareng”. Basa –basiku yang agak terbata –bata.
“Oh, enggak makasih. Tadinya sih emang mau makan bakso tapi ngeliat pangsit kayaknya lebih enak”. Ucap Lala nyelekit. Sepertinya ia tak suka kalau makan bareng aku.
“Makan disana aja ya, yang…”. Manja Lala mengajak Biyo sambil memegang tangan Biyo. Melihat dan mendengar itu semua rasanya ingin aku telan saja dia. Baru saja jadi pacarnya sudah belagu. Aku saja yang dari kecil menjadi sahabatnya tidak pernah mengatur –ngatur. Untung saja di akhir pertemuan itu Biyo mengucapkan “Dah… Cipluk”. Itu yang membuat hatiku senang. Biyo masih ingat dan masih memanggilku dengan nama kesayangan buatan darinya. Aku hanya membalas ucapannya itu dengan senyuman manis. Karena aku belum berani bicara kembali dengannya, semenjak ia marah karena aku tidak setuju kalau ia jadian dengan Lala. Makanya ia meminta bantuan Mia untuk dicomblangkan.
Dan ku lanjutkan menulis diary yang bersampul merah itu.

….kenapa aku cemburu?? Mungkin aku suka sepertinya aku sayang, sayaaaaang sekali. Mungkin cinta. Cinta ini telah membutakanku. Sampai –sampai aku tak tefikir kalau rasa sayangku ini bisa merusak persahabatanku dengan Biyo.

Sedang asik –asiknya menulis diary, tiba –tiba ada seorang yang menutup mataku.
“Arrrgh…. Ini siapa?”. Uacapku terkaget. Dan lekas aku menutup diaryku dan ku letakkan di kursi panjang Pak De.
“Ayo… tebak aja. Cirri –cirinya: ganteng, manis, lucu, baik, dan rajin menabung”.
“Aduuh… udah ah, gua lagi males bercanda”. Ucapku tegas. Kemudian ia perlahan melepaskan tangannya dari mataku.
“Oh, Denis. Gua piker siapa”
“Ah, nggak asik lagi. Lo kenapa sih? Kelihatannya bete banget”. Kata denis.
“yaiyalah gua bete, abis.. ketemu lo sih”. Canda ku.
“Oh, hokeh… ngomong –ngomong lo yakin makan segini banyaknya?”.
“iya. Lo mau?? Ambil aja nih”. Kataku sambil menyodorkan mangkuk yang berisi banyak kecap.
“Gila. Lo ngasih gua bakso apa kecap?”. Ledek denis.
“Ya, bakso lah. Lo nggak ngeliat apa bullet -bulet”. Jawabku.
“Iye,iye.. gua tau. Udah minta pake protes lagi”.
“Nah, tumben nyadar”. Kataku. Langsung saja ku santap bakso yang berisi kurang lebih 5 sendok sambal. Sampai –sampai wajahku berkeringat.
“Cintara. Lo kesambet setan apa???. Makan bakso 50% nya sambel”. Tegur Denis. Kemudian ku meminum segelas air putih.
“Eh. Berisik banget sih lo. Makan tuh nggak boleh ngomong”. Ucapku sewot dengan bibir yang memerah dan menahan pedas.
“Yaelah, dia ngambek”.
“Bodo! Jadi nggak mood makan lagi nih gua”. Lanjutku meninggalkan Denis di kantin.
“Cin, Cintara. Ini….”. teriak Denis memanggilku sambil menyodorkan buku diary ku. Tetapi aku tak mendengarnya, karena aku berlari kepedasan.

♥ ♥ ♥

Aduh.. aw.. mengapa perutku sakit seperti dililit –lilit. Sepertinya aku diare. Untung saja aku ditemani teman sebangku ku ke ruang UKS. Sudah diberi obat tapi, rasa sakitnya tak kunjung hilang.
“Cinta, sepertinya kamu lebih baik pulang saja. Aku takut kamu terkena usus buntu”. Saran Nadia sambil mengusap pundakku.
“Duh.. Nadia. Jangan nakut –nakutin gua usus buntu dong. Kan ngeriii..”.
“Yaelah, lebay banget sih lo. Ahhahaha….” Ledek Nadia.
“Sial, lo. Eh, tapi makasih banget ya Nad atas semuanya”. Ucapku haru dengan mulut yang masih kepedesan.
“Eh, tapi sory nih. Gua nggak bisa temenin lo pulang”.
“Udah, nggak apa –apa kok. Kan gua dah gede”.

♥ ♥ ♥

Di jalan tampak sepi, tak ada ojek. Padahal jarak dari jalan raya ke rumahku cukup jauh. Dalam keadaanku yang lemas, aku terpaksa berjalan kaki sampai rumah. Kira –kira sekitar 5 meter dari rumahku, terlihat seorang wanita duduk di dekat tiang listrik. Ku berikan beberapa rupiah sisa uang jajanku. Tapi nyatanya ia bukan orang minta-minta melainkan orang gila. Ia menarik tanganku, menjambak, dan menggambil tasku. Entah apalagi yang ia perbuat aku tak tahu. Namun yang kurasakan saat itu hanya kegelapan dan rasa sakit di mataku. Dan aku hanya bisa mendengar mulai saat itu.

♥ ♥ ♥

Sudah beberapa hari ini aku masih terbaring lemah tak berdaya di Rumah Sakit. Mata hatiku berkata banyak sekali teman yang datang menjengukku. Namun, dari sekian banyak orang, aku tak mendengar satu kata yang keluar dari mulut Biyo. Padahal batinku yakin bahwa Biyo juga hadir saat itu.
Kini aku telah diperbolehkan untuk pulang oleh dokter. Tapi aku masih belum siap kembali ke sekolah dengan keadaanku yang seperti ini. Mulai saat itu kehidupannku berubah, kini aku ditemani supir baru khusus untukku. Biasanya kalau aku mau refreshing, aku hanya ditemani oleh supir baruku ke taman dekat rumah.
“Arrrgh!!.. kenapa aku harus buta? Aku benci ini. Mengapa semua kebahagiaan, semua yang ku sayangi, semua yang ku miliki hilang. Termasuk buku diary ku. Kenapa! Kenapa! Kenapa!”. Teriakku mengeluh di bangku taman.
“Mang Dadang nggak tau sih rasanya jadi saya”.
“Mang tau kok rasanya jadi neng, kan Mang yang selalu menemanimu setiap saat”. Ujarnya. Dan aku sangat terkejut ketika ia melanjutkan ucapannya.
“Mang Dadang mau kok mendonorkan sebelah mata. Mang ikhlas kok, neng”.
Sontak aku terkejut. Aku tak percaya bahwa ada orang yang sangat baik seperti dia. Dan aku tak mau menyia –nyiakan kesempatan itu.

♥ ♥ ♥

Alhamdulillah.. operasi mataku telah berhasil. Setelah dokter melepaskan perban di mataku. Aku tak menyangka, ternyata kedua mataku dapat melihat kembali, padahal ia hanya ingin mendonorkan sebelah matanya. Namun diatas kesenangan itu, aku terfikirkan oleh supir baruku itu, yang telah mendonorkan kedua matanya. Aku ingin tahu bagaimana keadaanya saat ini.
Setelah ku mencari tahu keberadaan supir baruku. Aku amat sangat merasa terkejut. Jelas aku terkejut karena, kata dokterku beliau telah meninggal beberapa saat setelah operasi. Aku merasa bersalah, sangat bersalah.
Untuk mengucapkan rasa terima kasihku yang mendalam dan memohon maaf, aku datang ke tempat pemakaman supir baruku itu. Aku tercengang melihat sebuah batu nisan yang bertuliskan :

Biyo Setyo Putro
Bin
Hardiyo Putranto
Lahir : 05 Desember 1988
Wafat : 30 Mei 2005

Aku menjadi lemas tak berdaya. Hatiku bertanya –tanya apa benar yang dimakamkan itu adalah supirku. Ternyata selama ini orang yang selalu setia menemaniku kemanapun saat keadaanku masih buta adalah Biyo sahabatku. Orang yang telah rela mendonorkan matanya demi kebahagiaanku semata.
Semua ini karena cinta. Karena cinta telah membutakan segalanya. Aku tak menyangka karena rasa cintaku ini dapat merusak persahabatanku dengan Biyo.
Sebuah tepukan lembut mendarat dibahuku.
Aku menoleh.
Lala. Ia berdiri menatapku.
Matanya terlihat bengkak, hidungnya merah, jejak –jejak panjang yang ditingggalkan air matanya masih terlihat jelas di pipi Lala. Ia seperti aku, seperti ayah dan ibu Biyo. Juga merasakan kesedihan yang sama atas kepergian orang yang sama –sama kita sayangi.
“Cinta, ini ada titipan dari Biyo”
“Oh, Lala. Maksih banget ya.. maafin gua”
“Sama –sama, maafin gua juga. Gua udah masuk dalam persahabatan kalian berdua. Sebenernya Biyo Cuma sayang sama lo”.
Titik air jatuh di keningku.
Gerimis.
Lala kemudian pergi meninggalkanku sendiri. Kulihat titipan dari Biyo itu yang tampakknya seperti buku diary ku yang bersampul merah. Kulihat dari halaman awal, tak ada yang berbeda ataupun berubah. Namun di bagian akhir diary ku tertuliskan.

Buat : Cintara Putri
23 mei 2005

Cin, maafin gua ya.. udah nggak bilang –bilang baca diary lo udah gitu numpang ikut –ikutan nulis pula. Hehehe 
Cin, pasti lo bingung ya… kenapa nih buku ada di gua?? Ya kaan…
Ini buku tuh sebenernya Denis yang nemuin di kantin bakso Pak De.
Tapi yang nggak gua nyangka lo itu nyimpen perasaan yang lebih ya sama gue…. :P
Tapi maklumlah.. kadang – kadang gua juga suka gitu kok.
Jujur ya, sebenernya gue nggak marah sama lo tentang Lala. Gue tuh nggak bisa jauh dari lo. Dan gua juga nggak bisa ngeliat lo menderita.
Makanya gue pura –pura jadi supir dan ngedonorin mata gua. Dengan begini gua ngerasa bisa deket sama lo selamanya.
Nggak ada yang buat gua bahagia selain liat lo bahagia.
Biyo..

Hujan pun turun semakin deras melunturkan halaman terakhir tersebut. Akupun pergi meninggalkan makam Biyo ditemani hujan yang membasahi bumi.